Minggu, 17 Agustus 2014

Kasus yang dilakukan Oleh Para Penegak Hukum

Untuk mewujudkan penegakan hukum diperlukan aparat penegak hukum yang bertindak secara tegas adil dan jujur. Aparat penegak hukum di Indonesia ada tiga macam yaitu polisi, jaksa, dan hakim. Namun kinerja hakim di Indonesia sampai saat ini dirasakan belum memuaskan. Hal ini dikarenakan banyak persoalan-persoalan yang melanda para hakimnya. Kebanyakan hakim saat ini juga terlibat dalam kasus suap dan korupsi.
Tentu saja hal ini menjadikan kepercayaan masyarakat terhadap penegak hukum menjadi semakin melemah, dimana masih banyak sekali praktek 'jual beli putusan' yang terjadi. Persoalan yang terjadi pun juga sebagian besar berasal dari lingkup pejabat negara itu sendiri seperti kasus kasus dimana para hakim yang meloloskan para tersangka korupsi dengan vonis bebas. Hal itu dikarenakan lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA) selaku pemegang kuasa pengadilan tertinggi, begitu pula Komisi Yudisial (KY), sebagai institusi eksternal pengawas kode etik profesi hakim. Ini menjadi penyebab maraknya putusan bebas yang dikeluarkan hakim Pengadilan Tipikor terhadap terdakwa kasus korupsi.

Hakim Syarifuddin divonis 4 Tahun Penjara
Contoh konkret tentang praktek 'jual beli putusan' ini seperti yang dilakukan oleh hakim Syarifuddin yang terbukti menerima uang Rp 250 juta dari kurator Puguh. Adapun Puguh divonis 3,5 tahun penjara dalam kasus ini. Uang tersebut diberikan agar Syarifuddin selaku hakim pengawas memberikan persetujuan perubahan atas aset boedel pailit PT SCI, berupa dua bidang tanah SHGB 5512 atas nama PT SCI dan SHGB 7251 atas nama PT Tanata Cempaka Saputra, menjadi aset non-boedel pailit tanpa melalui penetapan pengadilan. Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menjatuhkan hukuman empat tahun penjara terhadap hakim nonaktif Syarifuddin, ditambah denda Rp 150 juta yang dapat diganti dengan empat bulan kurungan.

Para Koruptor yang Divonis Bebas di Tingkat PK
Lembaga peradilan kembali menjadi sorotan setelah Mahkamah Agung mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali (PK) terpidana kasus korupsi Rp369 miliar, Sudjiono Timan. Mantan Direktur Utama, PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) itupun dinyatakan bebas. Penetapan itu membatalkan putusan kasasi yang dimohonkan oleh pihak Jaksa. Sebelumnya di tingkat kasasi, MA menjatuhkan vonis 15 tahun dan denda Rp50 juta serta membayar uang pengganti Rp369 miliar kepada Sudjiono. Vonis bebas kasus korupsi di tingkat PK ini bukan yang pertama kali terjadi.
Menurut catatan Indonesian Corruption Watch yang diterima VIVAnews, Jumat 23 Agustus 2013, MA tercatat pernah membebaskan beberapa kasus korupsi di tingkat PK.  Pada 2007, MA membebaskan 10 Anggota DPRD Cirebon periode 1999-2004 atas perkara korupsi Dana Penunjang Kegiatan DPRD Kota Cirebon tahun anggaran 2001 sebesar Rp2,088 miliar. Padahal di tingkat kasasi, puluhan politikus itu divonis 2 tahun penjara pada 3 Oktober 2005. Pada 2008, MA membebaskan 33 Anggota DPRD Sumatera Barat periode 1999-2004 terkait korupsi APBD Provinsi Sumatera Barat tahun anggaran 2002 senilai Rp5,9 miliar.
Putusan itu membatalkan putusan sebelumnya di tingkat kasasi yang menvonis 33 Anggota DPRD itu dengan hukuman 2 tahun penjara. Kemudian Maret 2012, MA kembali membebaskan Bupati Mamasa, Obednego Depparinding dan 23 anggota DPRD Mamasa periode 2004-2009 atas perkara korupsi Dana Sekretariat DPRD Mamasa yang telah merugikan negara sebesar Rp1,2 miliar. Sebelumnya di tingkat kasasi, mereka divonis 20 bulan penjara pada Maret 2011 melalui Putusan MA No 2240K/Pid.sus/2011.
Selanjutnya, Lesmana Basuki, selaku Presiden Direktur PT. SBU yang menjadi terpidana perkara korupsi menjual surat-surat berharga berupa Commercial Paper (CP) sehingga negara dirugikan Rp209 miliar.  Pada 25 Juli 2000, MA menjatuhkan vonis 2 tahun penjara kepada Lesmana namun tidak bisa di eksekusi karena melarikan diri. Saat masuk DPO, terpidana mengajukan PK pada 2004, dan dibebaskan pada 2007. Berikutnya mantan Direktur Utama PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI), Sudjiono Timan, terpidana kasus korupsi Rp369 miliar. Majelis Hakim yang dipimpin Suhadi mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan kuasa hukum pemohonon pada Juli 2013. Putusan ini membatalkan putusan kasasi yang dimohonkan oleh pihak. Jaksa yang menjatuhkan vonis 15 tahun dan denda Rp50 juta serta membayar uang pengganti Rp369 miliar kepada Sudjiono.

Anggota DPRD Majene Dituduh Hamili Remaja
Kepolisian Resort (Polres) Majene diminta mengusut tuntas kasus pencabulan yang dilakukan oleh Hasriadi, salah seorang anggota DPRD Majene yang mengakibatkan korban mengalami kehamilan. Desakan tersebut disampaikan puluhan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di Majene yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Menggugat (ARM) saat menggelar aksi di bundaran Pusat Pertokoan. Para LSM meminta, pihak kepolisian untuk segera mengusut tuntas kasus tersebut, dan tidak menunda-nunda.
Apalagi yang terkait dalam kasus tersebut adalah seorang anggota dewan. Dalam pernyataan sikap ARM, mereka juga meminta Bupati Majene Kalma Katta untuk mendukung penuh penuntasan kasus tersebut. Sahrir, salah seorang pendemo mengatakan, tindakan yang dilakukan anggota dewan tersebut telah mencemarkan kehormatan lembaga legislatif dan masyarakat Kabupaten Majene, khususnya di Dapil III Kecamatan Malunda Ulumanda. Menurut Sahrir, tidak sepatutnya seorang anggota dewan yang terhormat memiliki perilaku yang bertentangan dengan norma hukum dan adat istiadat.
Bahkan, tindakan asusila yang dilakukan Hasriadi sudah tidak mencerminan perilaku anggota dewan. Karena itu, pelaku harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di depan hukum.  Tindakan asusila yang dilakukan anggota dewan tersebut harus diperangi secara bersama. Sebab, bukan tidak mungkin anggota dewan yang lain akan ikut-ikutan. Kasus tersebut dialami oleh NSR (16), salah seorang pelajar SMP di Kabupaten Majene. Bahkan, tindakan tidak terpuji anggota dewan dari Partai Amanat Nasional (PAN) itu mengakibatkan NSR hamil. Anggota DPRD tersebut dikenai hukuman penjara.

Kejanggalan Hukum Vonis MA Terhadap Dr. Ayu
Mahkamah Agung (MA) memvonis dr Ayu dkk selama 10 bulan penjara karena kealpaan dr Ayu dkk yang mengakibatkan kematian pasien Siska Makatey. Tiga dokter yakni Dewa Ayu Sasiary Prawani, Hendry Simanjuntak dan Hendy Siagian dinyatakan bersalah melakukan malapraktik terhadap Julia Fransiska Makatey di Manado. Ketiga dokter tersebut dijatuhi hukuman 10 bulan penjara oleh MA setelah sebelumnya divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Manado, Sulawesi Utara.
Dasar dakwaan MA dalam memvonis tersebut adalah menilai salah dan benarnya dokter Ayu dalam melakukan tindakan medis dan prosedur medis. Saksi ahli kedokteran yang menyatakan Ayu dan dua rekannya tak melakukan kesalahan prosedural. Dokter forensik Johanis menyatakan hasil visum et repertum emboli yang menyebabkan pasien meninggal bukan karena hasil operasi. Kasus itu, kata dia, jarang terjadi dan tidak dapat diantisipasi. 
Para ahli itu juga menyebutkan Ayu, Hendry, dan Hendy telah menjalani sidang Majelis Kehormatan Etik Kedokteran pada 24 Februari 2011. Hasil sidang menyatakan ketiganya telah melakukan operasi sesuai dengan prosedur. Beberapa kesalahan MA dalam menilai tindakan medis dokter karena keterbatasan pemahaman medis para hakim. Karena pemahaman medis yang terbatas hakim salah dalam menerapkan dakwaan.
Mahkamah Agung (MA) akhirnya mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan dr Dewa Ayu Sasiari Prawani dan kawan-kawan. Majelis Peninjauan Kembali MA membalikkan putusan kasasi yang memvonis dokter yang bertugas di Manado, Sulawesi Utara, itu 10 bulan penjara. Perbuatan ketiganya dianggap tidak menyalahi aturan. ”Majelis PK mengabulkan PK Dr. Ayu dkk. Menyatakan pemohon PK tidak menyalahi SOP dalam menangani operasi cieto cisaria,” ujar Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur dalam pesan singkat kepada wartawan di Jakarta, Jumat, (7/2).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar