Untuk
mewujudkan penegakan hukum diperlukan aparat penegak hukum yang bertindak
secara tegas adil dan jujur. Aparat penegak hukum di Indonesia ada tiga macam
yaitu polisi, jaksa, dan hakim. Namun kinerja hakim di Indonesia sampai saat
ini dirasakan belum memuaskan. Hal ini dikarenakan banyak persoalan-persoalan
yang melanda para hakimnya. Kebanyakan hakim saat ini juga terlibat dalam kasus
suap dan korupsi.
Tentu saja
hal ini menjadikan kepercayaan masyarakat terhadap penegak hukum menjadi
semakin melemah, dimana masih banyak sekali praktek 'jual beli putusan' yang
terjadi. Persoalan yang terjadi pun juga sebagian besar berasal dari lingkup
pejabat negara itu sendiri seperti kasus kasus dimana para hakim yang
meloloskan para tersangka korupsi dengan vonis bebas. Hal itu dikarenakan
lemahnya pengawasan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA) selaku pemegang
kuasa pengadilan tertinggi, begitu pula Komisi Yudisial (KY), sebagai institusi
eksternal pengawas kode etik profesi hakim. Ini menjadi penyebab maraknya
putusan bebas yang dikeluarkan hakim Pengadilan Tipikor terhadap terdakwa kasus
korupsi.
Hakim Syarifuddin divonis 4 Tahun Penjara
Contoh
konkret tentang praktek 'jual beli putusan' ini seperti yang dilakukan oleh
hakim Syarifuddin yang terbukti menerima uang Rp 250 juta dari kurator Puguh.
Adapun Puguh divonis 3,5 tahun penjara dalam kasus ini. Uang tersebut diberikan
agar Syarifuddin selaku hakim pengawas memberikan persetujuan perubahan atas
aset boedel pailit PT SCI, berupa dua bidang tanah SHGB 5512 atas nama PT SCI
dan SHGB 7251 atas nama PT Tanata Cempaka Saputra, menjadi aset non-boedel
pailit tanpa melalui penetapan pengadilan. Majelis hakim Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi menjatuhkan hukuman empat tahun penjara terhadap hakim nonaktif
Syarifuddin, ditambah denda Rp 150 juta yang dapat diganti dengan empat bulan
kurungan.
Para Koruptor yang Divonis Bebas di Tingkat PK
Lembaga peradilan kembali menjadi sorotan setelah Mahkamah Agung mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali (PK) terpidana kasus korupsi Rp369 miliar, Sudjiono Timan. Mantan Direktur Utama, PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) itupun dinyatakan bebas. Penetapan itu membatalkan putusan kasasi yang dimohonkan oleh pihak Jaksa. Sebelumnya di tingkat kasasi, MA menjatuhkan vonis 15 tahun dan denda Rp50 juta serta membayar uang pengganti Rp369 miliar kepada Sudjiono. Vonis bebas kasus korupsi di tingkat PK ini bukan yang pertama kali terjadi.
Lembaga peradilan kembali menjadi sorotan setelah Mahkamah Agung mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali (PK) terpidana kasus korupsi Rp369 miliar, Sudjiono Timan. Mantan Direktur Utama, PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) itupun dinyatakan bebas. Penetapan itu membatalkan putusan kasasi yang dimohonkan oleh pihak Jaksa. Sebelumnya di tingkat kasasi, MA menjatuhkan vonis 15 tahun dan denda Rp50 juta serta membayar uang pengganti Rp369 miliar kepada Sudjiono. Vonis bebas kasus korupsi di tingkat PK ini bukan yang pertama kali terjadi.
Menurut catatan
Indonesian Corruption Watch yang diterima VIVAnews, Jumat 23 Agustus
2013, MA tercatat pernah membebaskan beberapa kasus korupsi di tingkat PK.
Pada 2007, MA membebaskan 10 Anggota DPRD Cirebon periode 1999-2004 atas
perkara korupsi Dana Penunjang Kegiatan DPRD Kota Cirebon tahun anggaran 2001
sebesar Rp2,088 miliar. Padahal di tingkat kasasi, puluhan politikus itu
divonis 2 tahun penjara pada 3 Oktober 2005. Pada 2008, MA membebaskan 33
Anggota DPRD Sumatera Barat periode 1999-2004 terkait korupsi APBD Provinsi
Sumatera Barat tahun anggaran 2002 senilai Rp5,9 miliar.
Putusan itu
membatalkan putusan sebelumnya di tingkat kasasi yang menvonis 33 Anggota DPRD
itu dengan hukuman 2 tahun penjara. Kemudian Maret 2012, MA kembali membebaskan
Bupati Mamasa, Obednego Depparinding dan 23 anggota DPRD Mamasa periode
2004-2009 atas perkara korupsi Dana Sekretariat DPRD Mamasa yang telah
merugikan negara sebesar Rp1,2 miliar. Sebelumnya di tingkat kasasi, mereka
divonis 20 bulan penjara pada Maret 2011 melalui Putusan MA No
2240K/Pid.sus/2011.
Selanjutnya, Lesmana Basuki, selaku Presiden Direktur PT. SBU yang menjadi
terpidana perkara korupsi menjual surat-surat berharga berupa Commercial Paper
(CP) sehingga negara dirugikan Rp209 miliar. Pada 25 Juli 2000, MA
menjatuhkan vonis 2 tahun penjara kepada Lesmana namun tidak bisa di eksekusi
karena melarikan diri. Saat masuk DPO, terpidana mengajukan PK pada 2004, dan
dibebaskan pada 2007. Berikutnya mantan Direktur Utama PT Bahana Pembinaan
Usaha Indonesia (BPUI), Sudjiono Timan, terpidana kasus korupsi Rp369 miliar.
Majelis Hakim yang dipimpin Suhadi mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali
(PK) yang diajukan kuasa hukum pemohonon pada Juli 2013. Putusan ini
membatalkan putusan kasasi yang dimohonkan oleh pihak. Jaksa yang menjatuhkan
vonis 15 tahun dan denda Rp50 juta serta membayar uang pengganti Rp369 miliar
kepada Sudjiono.
Anggota DPRD Majene Dituduh Hamili Remaja
Kepolisian Resort
(Polres) Majene diminta mengusut tuntas kasus pencabulan yang dilakukan oleh
Hasriadi, salah seorang anggota DPRD Majene yang mengakibatkan korban mengalami
kehamilan. Desakan tersebut disampaikan puluhan Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM) di Majene yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Menggugat (ARM) saat
menggelar aksi di bundaran Pusat Pertokoan. Para LSM meminta, pihak kepolisian
untuk segera mengusut tuntas kasus tersebut, dan tidak menunda-nunda.
Apalagi yang
terkait dalam kasus tersebut adalah seorang anggota dewan. Dalam pernyataan
sikap ARM, mereka juga meminta Bupati Majene Kalma Katta untuk mendukung penuh
penuntasan kasus tersebut. Sahrir, salah seorang pendemo mengatakan, tindakan
yang dilakukan anggota dewan tersebut telah mencemarkan kehormatan lembaga
legislatif dan masyarakat Kabupaten Majene, khususnya di Dapil III Kecamatan
Malunda Ulumanda. Menurut Sahrir, tidak sepatutnya seorang anggota dewan yang
terhormat memiliki perilaku yang bertentangan dengan norma hukum dan adat
istiadat.
Bahkan,
tindakan asusila yang dilakukan Hasriadi sudah tidak mencerminan perilaku
anggota dewan. Karena itu, pelaku harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di
depan hukum. Tindakan asusila yang
dilakukan anggota dewan tersebut harus diperangi secara bersama. Sebab, bukan
tidak mungkin anggota dewan yang lain akan ikut-ikutan. Kasus tersebut dialami
oleh NSR (16), salah seorang pelajar SMP di Kabupaten Majene. Bahkan, tindakan
tidak terpuji anggota dewan dari Partai Amanat Nasional (PAN) itu mengakibatkan
NSR hamil. Anggota DPRD tersebut dikenai hukuman penjara.
Kejanggalan Hukum Vonis MA Terhadap Dr. Ayu
Mahkamah
Agung (MA) memvonis dr Ayu dkk selama 10 bulan penjara karena kealpaan dr Ayu
dkk yang mengakibatkan kematian pasien Siska Makatey. Tiga dokter yakni Dewa
Ayu Sasiary Prawani, Hendry Simanjuntak dan Hendy Siagian dinyatakan bersalah
melakukan malapraktik terhadap Julia Fransiska Makatey di Manado. Ketiga dokter
tersebut dijatuhi hukuman 10 bulan penjara oleh MA setelah sebelumnya divonis
bebas oleh Pengadilan Negeri Manado, Sulawesi Utara.
Dasar
dakwaan MA dalam memvonis tersebut adalah menilai salah dan benarnya dokter Ayu
dalam melakukan tindakan medis dan prosedur medis. Saksi ahli kedokteran yang menyatakan Ayu dan dua rekannya tak
melakukan kesalahan prosedural. Dokter forensik Johanis menyatakan hasil visum et
repertum emboli yang menyebabkan pasien meninggal bukan karena
hasil operasi. Kasus itu, kata dia, jarang terjadi dan tidak dapat
diantisipasi.
Para ahli itu
juga menyebutkan Ayu, Hendry, dan Hendy telah menjalani sidang Majelis
Kehormatan Etik Kedokteran pada 24 Februari 2011. Hasil sidang menyatakan
ketiganya telah melakukan operasi sesuai dengan prosedur. Beberapa kesalahan MA
dalam menilai tindakan medis dokter karena keterbatasan pemahaman medis para
hakim. Karena pemahaman medis yang terbatas hakim salah dalam menerapkan
dakwaan.
Mahkamah
Agung (MA) akhirnya mengabulkan permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan
dr Dewa Ayu Sasiari Prawani dan kawan-kawan. Majelis Peninjauan Kembali MA
membalikkan putusan kasasi yang memvonis dokter yang bertugas di Manado,
Sulawesi Utara, itu 10 bulan penjara. Perbuatan ketiganya dianggap tidak
menyalahi aturan. ”Majelis PK mengabulkan PK Dr. Ayu dkk. Menyatakan pemohon PK
tidak menyalahi SOP dalam menangani operasi cieto cisaria,” ujar Kepala Biro
Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur dalam pesan singkat kepada wartawan di
Jakarta, Jumat, (7/2).



